Mengadopsi Jepang Dalam Memilih Sampah

Masih belum bisa move on ingatanku tentang Dia, selalu terbayang dan terhirup bebas akan aromanya walau jarak cukup jauh memisahkan kita… Owh Sampah di bantaran kali, kapan kau bisa membiarkanku sejenak menghela nafas tanpa kau disisi…

Hari ini masih mau dan ngeluangin waktu untuk ngelanjutin cerita tentang si Dia kemarin....yaps masih tentang sampah dong. Mumpung masih fresh dan si Doi masih setia nih disini. Hari-hari kita tampaknya tidak akan pernah lepas dari yang namanya sampah. Manusia tanpa sampah bagaikan kacang tanpa kulit....eaaaa....Sayur tanpa garam,,hobaaah,,hehe.

Seperti kutipan tulisan sebelumnya, bahwasanya sampah itu adalah takdir dari adanya irisan aktifitas manusia. Karena setiap manusia yang bergerak entah pasti menghasilkan sampah. Jumlah atau volume keluarannya berbanding lurus dengan tingkat konsumsi kita dalam satuan waktu yang dilakukan.

Sebelum kita pusing mikirin proses dan teknologi yang super ilmiah untuk nanggulangin sampah, sebetulnya kita bisa loh menanggulangi atau mereduksi sampah dengan menerapkan prinsip 4R (WALHI, 2004), seperti :
  1. Reduce (Mengurangi) è jadi sebisa dan seharus mungkin sebetulnya, kita kudu memilah-milah barang atau material bahkan makanan sekalipun yang memang urgen untuk dipergunakan atau dikonsumsi saat itu juga. Ketika kita sudah menemukan sense of needs. Maka kita bisa menekan barang habis pakai menjadi sampah. Karena ya gitu deh, semakin banyak kebutuhan material maka akan banyak pula sampah setelahnya...
  2. Reuse (memakai kembali) è nah ini ni yang agak susah dikalangan masyarakat Indonesia menengah ke atas. Memilah barang yang masih layak untuk dipergunakan kembali. Paradigm yang masih terbangun adalah menggunakan barang yang disposable (sekali pakai,,cuus buang). Sebenernya ini gak terlalu signifikan sih mereduksi tumpukan sampah, tapi setidaknya dapat memperpanjang waktu pakai sebelum barang berubah fungsi menjadi sampah. Untuk “reuse” sendiri masih menjadi momok penanggulangan jika sampahnya itu adalah sampah buangan makanan. Ini agak menodai kebijakan keselamatan konsumen, jika produsen memakai kembali bahan pangan yang sudah terpapar.
  3. Recycle (mendaur ulang) è ini sudah banyak sih ya beberapa contoh sampah-sampah rumah tangga non-makanan yang mulai dikreasikan menjadi maha karya daur ulang.
  4. Replace (mengganti) è Cintai produk-produk Indonesia yang awet dan tahan lama,, no KW (China palsuuuuh), kalau cuma mau nggaya mah jng idup…wkwkwk.
Nah itu sekecil cara untuk sedikit mengurangi sampah-sampah yang nantinya akan dibuang begitu saja ke landfill (baca bantar gebang kalau lu orang Jekardah pinggiran). Intinya mah gaya hidup pisan. Kalau mau gaya, sok jangan ngomel kalau sampah merembik…hehehe

Nah sekarang lanjut dah ke proses pengolahan sampahnya dulu, sebelum kita main bakar-bakaran atau sulap-sulapan dari padat simsalabim jadi gas…hehhe
Jadi gini nih, jadi tuh ya alur sebelum kita main bakar-bakaran atau “sulap-sulapan” itu ada satu proses yang seharusnya gak kalah penting untuk dibantu memviralkan kebijakan pemerintah setempat. Ya Aku yakin, sebenarnya udah digodok matang dan pastinya dibeberapa wilayah di Indonesia sudah ada yang menerapkan ini, yaitu pengelompokkan pembuangan sampah. Sebetulnya, sampah-sampah di Indonesia itu adalah sampah basah sekitaran 60-70% dari semua total volume sampah. Sebenarnya gampah nih, karena hampir 50% sendiri sudah terklasifikasikan begitu saja,,,Tapiiiii yang jadi kendala bak bom waktu saaat ini adalah pembuangan sampah yang terpusat, sehingga semua sampah kering dan basah tercampur dalam sistem pembuangan…nahloooh…

Jadwal pembuangan sampah di Jepang
Teringat Aku akan masa-masa dimana aku merasa kesulitan untuk membuang sampah, karena adanya jadwal penyortiran atau pengelompakkan sampah menurut harinya… yaps betul, itu tulisan berasal dari planet “namek” bukan aksara jawa apalagi bahasa tercinta Indonesia… Jepang… di Negara inilah awalnya aku kagum ditambah tergopoh-gopoh mengikuti regulasi yang ada, kenapa? karena terkadang aku “miss” hari pembuangan sampah basah yang menyebabkan Aku kudu membawanya kembali ke rumah dan lalu siap menidurinya bareng dengan aroma yang semerbak sampai hari pembuangan yang terjadwal berikutnya….huuft). lambat laun dari seringnya telat dan tertinggal waktu pembuangan sampai akhirnya aku belajar asyiknya memilah-milah sampah sebelum dibuang sampai saat ini. Arigatou nee Jepun!!.

Sekembalinya Aku di Indonesia, eng ing eng agak jetlag, semua orang bisa foya2 sembarangan membuang sampah dalam satu wadah. Semua campur jadi satu....naaah ini nih sebenarnya akar yang pernah menjadi penolakan bersama para aktivitas akan regulasi yang sudah digelontorkan pemerintah...
Yaitu Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2016 yang menyorot pada Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah (PLTSa). Para aktivis menyatakan bahwasanya PLTSa yang berbasis teknologi thermal ini malah mencederai peraturan lainnya yang berdampak pada lingkungan. Karena sepemikiran mereka lepasan dan sebaran gas buang dalam senyawa bisa terurai masuk ke dalam udara dalam kandungan bahan yang beracun serta berbahaya yang ada di dalam sampah. Dan kadar dioksin serta furan yang diaku-aku oleh sang pengembang teknologi thermal karena sistem pengolahan emisi dan efluennya maksimal maka kadar keduanya dipastikan dibawah baku mutu yang berlaku di Indonesia itu pun juga dimentahkan oleh para aktivis. Para aktivis menganggap saat ini pengukuran yang berlaku serta monitoring yang sudah diberlakukan untuk dioksin itu sangat mahal dan susah, jadi mereka kurang percaya dan meragukan keabsahan teknologi thermal, sebelum adanya kejelasan atau transparansi keluaran emisi.

Nah win-win solution dari gejolak masalah ini seharusnya adalah mengurangi ego masing-masing agar satu sama lain antar tiap-tiap kepala bisa ketemu jalan keluarnya. Sebetulnya jalan keluar yang paling logis adalah menegakkan dan mengatur serta kalau perlu memberikan sanksi untuk proses “sorting” pada sampah sebelum di buang. Kalau saja pemerintah dibantu dengan beberapa stakeholder yang ada tegas untuk memberlakukan jam atau waktu buang sampah perharinya seperti contoh layaknya di Jepang. Secara tidak langsung dari masing-masing pilihan-pilihan sampah yang sudah diklasifikasin akan memunculkan jiwa-jiwa “entrepreneur” baru di tiap-tiap wilayah. Contoh sederhana dari berhasilnya proses “sorting” sampah lanjut di tulisan besok ya guys… Hari ini agak capek pikirannya,, Terbang-terbang yuuuk terbang ke tulisan berikutnya…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sesederhana Kopi dan Roti

Mau Dibawa Kemana Listrik Indonesia? (Episode : "Pengendali Udara")

Ketika Panas (Bumi) Jadi Anugerah Negeri