Mau Dibawa Kemana Listrik Indonesia? (Part 1)
Listrik…listrik…listrik…
Kali ini terusik ingin menjejakkan jari-jemari pada tuts notebook
di depan mata, tumpahkan segala yang berkecamuk di jiwa, tuliskan tentang hal ini…
Siapa sih di era saat ini yang tidak membutuhkannya? Ya, listrik sudah menjadi
rekan keseharian kita, dari begitu mata terbuka listrik menemani keseharian
kita hingga hantarkan kita merajut mimpi….
Dan….. pasca lebaran Idul Fitri sampai menuju lebaran haji tahun
ini, perbincangan yang bersinggungan dengan makhluk bernama listrik ini makin
heboh. Teriakan yang menyuarakan aspirasi tentang naiknya harga listrik
disambut Pemerintah dengan tak kalah seru menjelaskan bahwa yang terjadi saat
ini adalah penyesuaian tarif listrik untuk pelanggan 900 VA golongan mampu yang
seharusnya tidak layak menerima subsidi.
Penyesuain tarif listrik yang dilakukan berkala di tahun 2017
mulai dari bulan Januari – Juli untuk golongan rumah tangga 900 VA ini seolah
menjadi polemik tersendiri di kalangan masyarakat yang memang sudah tak lagi
menikmati tarif subsidi. Di satu sisi tampak “kaum tak bersubsidi”
mengompor-ngompori masyarakat menengah ke bawah yang sebenarnya masih menikmati
subsidi. Tersulut otak bawah sadarnya, bukannya pergi ke kantor kelurahan untuk
melakukan pengaduan, justru masyarakat ini seringkali melakukan hal-hal konyol
seperti terlansir di beberapa media elektronik “unverified” namun cukup viral.
Seorang lelaki paruh baya di Grobogan nekad gantung diri karena
tidak mampu bayar listrik, begitu yang diberitakan. Tak ayal berita tersebar
kemana-mana dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Subjek hanya 1 tapi setiap
penulis mendefinisikan menjadi banyak versi dalam bercerita Ada yang menulis
Ayah dari 2 orang anak, duda sebatang kara, dan bahkan seorang kakek. Entah
berita itupun terbit dari kapan tahun, tapi tiba-tiba kembali mencuat di tengah
sengitnya debat tarif listrik.
Well, terlepas dari kenyataan adanya seseorang yang bunuh diri
karena himpitan ekonomi, kita harus bisa melihat lebih jernih, tidak serta
merta menyalahkan Pemerintah. Apalagi sampai-sampai ada yang mengecam
Pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat. Semua mudah tersulut, padahal
sosialisasi rutin dilakukan. Lagi-lagi Pemerintah harus gigit jari gagal
memviralkan berita positif, ketutup sama “manequin challenge” atau “samyang
challenge”… (out of the topic.red).
Literasi oh literasi, Indonesia butuh duta literasi yang gencar,
yang bisa memviralkan nikmatnya membaca “informasi berbobot. Giliran udah
masanya untuk menjalankan regulasi, kemudian dirasa tidak menguntungkan diri
sendiri, baru deh koar-koar merasa paling peduli…hehehe. Kalau dah kepentok,
ada yang berstrategi menyalahkan si pembuat kebijakan dan regulasi.
Ngomongin kebijakan penyesuaian tarif listrik untuk pelanggan bersubsidi itu, sebenarnya dasar tercetusnya itu mulia lho!! Menginginkan terciptanya #energiberkeadilan, tagar yang digaungkan Kementerian ESDM. Apa sih makna #energiberkeadilan? korelasinya apa coba dengan penyesuaian tarif listrik? Jangan-jangan Cuma alasan saja yang diakomodir agar terlihat baik??
Negatif,,negatif,,negatif… itulah paradigma dan pola pikir yang sudah terbangun dari 1/3 atau bahkan ½ dari penduduk Indonesia. Setiap kebijakan apapun yang turun dari Pemerintah, ketika kurang menguntungkan untuk pribadi dan atau bahkan golongannya,mesti deh cari-cari celah menjadikan kebijakan itu Impactnya negatif…huffft padahal kalangan terpelajar di Indonesia (yang beruntung mengenyam pendidikan SD – Kuliah) itu prosentasinya sekitar 70,91% (sumber : BPS Indonesia). Apa iya kaum terpelajar sejatinya diajarkan untuk kritis dalam hal yang kaya begitu??hmmmmh…
Lanjut lagi deh, sebelum tulisan ini dikritisi dan di cap negatif karena “nyinyir”in orang-orang berideologis tinggi yang hobinya “nyela” kebijakan pemerintah tanpa mau memperdalam impact baiknya untuk seluruh kesejahteraan masyarakat Indonesia. BALIK maning nang laptop… #energiberkeadilan 2 konsep kata yang kena banget jikalau ini benar-benar diusahakan. Kementrian ESDM dibawah naungan Bapak Mentri Ignasius, melihat adanya kesenjangan antara daerah perkotaan seperti di Pulau Jawa dengan daerah pelosok pedesaan yang ada di Pulau Sulawesi, Sumatera dll. kesenjangan itu adalah kesenjangan rasa kenyamanan saat beraktifitas di malam hari. foto satelit dari Nasa melansir, bahwasanya keadaan “pencahaayan” yang terjadi di Indonesia saat malam hari itu begitu timpang. bisa dilihat di poto tersebutkan, mana yang “merona cahayanya” bak menggunakan aplikasi kamera 360.
Ngomongin kebijakan penyesuaian tarif listrik untuk pelanggan bersubsidi itu, sebenarnya dasar tercetusnya itu mulia lho!! Menginginkan terciptanya #energiberkeadilan, tagar yang digaungkan Kementerian ESDM. Apa sih makna #energiberkeadilan? korelasinya apa coba dengan penyesuaian tarif listrik? Jangan-jangan Cuma alasan saja yang diakomodir agar terlihat baik??
Negatif,,negatif,,negatif… itulah paradigma dan pola pikir yang sudah terbangun dari 1/3 atau bahkan ½ dari penduduk Indonesia. Setiap kebijakan apapun yang turun dari Pemerintah, ketika kurang menguntungkan untuk pribadi dan atau bahkan golongannya,mesti deh cari-cari celah menjadikan kebijakan itu Impactnya negatif…huffft padahal kalangan terpelajar di Indonesia (yang beruntung mengenyam pendidikan SD – Kuliah) itu prosentasinya sekitar 70,91% (sumber : BPS Indonesia). Apa iya kaum terpelajar sejatinya diajarkan untuk kritis dalam hal yang kaya begitu??hmmmmh…
Lanjut lagi deh, sebelum tulisan ini dikritisi dan di cap negatif karena “nyinyir”in orang-orang berideologis tinggi yang hobinya “nyela” kebijakan pemerintah tanpa mau memperdalam impact baiknya untuk seluruh kesejahteraan masyarakat Indonesia. BALIK maning nang laptop… #energiberkeadilan 2 konsep kata yang kena banget jikalau ini benar-benar diusahakan. Kementrian ESDM dibawah naungan Bapak Mentri Ignasius, melihat adanya kesenjangan antara daerah perkotaan seperti di Pulau Jawa dengan daerah pelosok pedesaan yang ada di Pulau Sulawesi, Sumatera dll. kesenjangan itu adalah kesenjangan rasa kenyamanan saat beraktifitas di malam hari. foto satelit dari Nasa melansir, bahwasanya keadaan “pencahaayan” yang terjadi di Indonesia saat malam hari itu begitu timpang. bisa dilihat di poto tersebutkan, mana yang “merona cahayanya” bak menggunakan aplikasi kamera 360.
Sumber : Mengejutkan! Penampakan Indonesia Malam Hari yang Dirilis NASA |
Jauh sangat jauh sekali dikatakan dari pemerataan bukan, untuk
pasokan distribusi energi (dalam hal ini energi listrik yg dikonvert ke energi
cahaya) di Indonesia ini. Bayangkan, “mereka” 72 tahun sudah bersama dengan
kita dalam naungan Ibu pertiwi Indonesia, tapi mereka tidak menikmati
kemerdekaan untuk merasakan kenyamanan indahnya malam di bawah sorotan cahaya
lampu sang pertiwi. Padahal kita saja yang di kota, sering berkoar-koar saat
pemadaman listrik dadakan oleh PLN karena kesalahan teknis,namun tahukah Anda ?
mereka yang disana hampir setiaap malam, gulita, kadang tak dapat membedakan
mana manusia dan mana batang pohon nangka (hehehe). Itulah, kenapa disesuaikan
tarifnya dan “diaudit” ulang pelanggan yang memang benar-benar layak untuk
mendapatkan subsidi, agar subsidi yang tak tepat sasaran bisa dialokasikan ke
saudara-saudara pelosok negeri tercinta.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara mengalirkan listrik ke
pelosok negeri itu? Jangankan untuk mendatangkan alat-alat infrastruktur berat
ke pedalaman, bahkan seringkali akses kesana untuk seorang manusiapun
membutuhkan perjuangan yang luar biasa. Untuk menghubungkan ke jaringan ongrid
PLN dijamin, sebelum orang PLN berhasil nyambung kabel disana, orangnya sudah
dadah dadah ke kamera.Susah broooo…..
Lalu apa solusinya? pembangkit offgrid menjadi pilihan. Pembangkit
skala kecil yang gampang dipindahkan akan menjangkau mereka yang ada di pulau
terluar dan pedalaman. Dengan alat yang bisa dibawa dengan kendaraan kecil,
diangkut dengan sepeda motor, diangkut di atas kapal kayu, bahkan sesuatu yang
cukup dengan ditenteng tangan namun bisa memberikan penerangan bagi warga di
malam hari. Jawabannya adalah melalui energi terbarukan, yang disesuaikan
dengan potensi dan kearifan lokal. Maksudnya gimana? Misal nih, di Papua Barat
yang jalannya berkelok-kelok dan dikelilingi pegunungan, tentunya kita tidak
akan bisa mengusahakan alat berat untuk membangun pembangkit listrik skala
besar karena geografis yang tidak memungkinkan. Pembangkit tenaga surya dengan
panel yang berukuran kecil maupun listrik tenaga mikro atau mini hidro dapat
dijadikan opsi.
Apakah ini akan sustain? Mengutip pernyataan salah seorang
idolaku, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, "Apakah kita akan mendorong
renewable energy? Renewable energy adalah keharusan bukan lagi pilihan apakah
kita memilih fosil atau renewable energy.” ( Baca: Wamen ESDM: EBT Adalah Keharusan, Keekonomiannya Harus Diutamakan)
Nah,untuk masalah kelistrikan tawaran sudah jelas dari Pak
Archandra, tinggal bagaimana kita mempelajarinya. Renewable energy apa
aja sih yang berpotensi di Indonesia untuk dijadikan sumber tenaga listrik
terutama di daerah-daerah yang terpencil? Penasaran gak? Penasaran dong…. Jamaaaaah oh Jamaah Sabar ya, bersambung dulu kitaaaa...
Semoga kedepannya Indonesia dari Sabang sampai Merauke bisa 'merasakan' listrik seperti kita ya..
BalasHapus