Bioethanol dan Kegalauan Masa Muda
Bulan
ini tepat 7 tahun yang lalu, sebuah peristiwa besar dalam kehidupan anak
manusia terjadi. Akoeh di wisuda S1…..jreeeeng (red: ngalay mode: on)…. Oke tapi bukan itu
yang akan dibahas…..kali ini bahasan kita adalah tentang sebuah proses yang aku
lakoni sebelum wisuda, sebuah idealisme anak kuliah tentang pemanfaatan sumber
daya alam yang dimiliki Indonesia….
Masa
kuliah….mungkin ingatan masa itu penuh masa-masa “bandel” dan “kepo”, masa
ketika segala macam pertanyaan berkecamuk, dari pertanyaan terkait hal sepele dalam
hidup hingga pertanyaan tentang hal-hal “Luar biasa” yang baru pertama didengar
ataupun hanya dibahas di bangku kuliah. Mungkin di saat teman-teman lain lebih
menikmati masa “bandel” mereka, aku justru masuk dalam barisan “kepo” dengan
berbagai urusan bangsa. Hmmmm…..
Dua
kata ini pun kerap mengusik pikiran mahasiswa penuh idealis di masanya, kata
itu adalah drururururm (ceritanya suara gitar….krikkrik) “Krisis Energi” (red:
bacanya lantang ya guys). Nahloh, dulu waktu jaman-jamannya masih kinyis-kinyis
gak kepikirankan kalau energi akan berada di titik dimana orang-orang akan heboh
ketakutan kehabisan sumber energi, karena sejak kecil bu guru selalu berkata “Indonesia
adalah Negara kaya, mempunyai hampir semua jenis sumber energi yang ada di
dunia.” Dan itulah yang terpatri di otakku selama kurang lebih 12 tahun
mengenyam pendidikan, dari SD hingga SMA (kita abaikan saja waktu TK karena
waktu itu aku belum mengerti apa-apa, yang ada di pikiranku mungkin hanya
ayunan, perosotan, dan rebutan tamiya).
Balik
lagi ke pertanyaan tentang sumber energi, sejak kecil kita di-“doktrin” untuk
terus meyakini, minyak dan gas bumi adalah harta karun luar biasa bangsa ini,
pun batubara yang menggunung di Pulau Sumatera dan Kalimantan, rasanya tak akan
pernah habis. Kemudian selanjutnya aku mengenalnya sebagai energi fosil yang
selalu diagungkan sebagai sumber penerimaan Negara terbesar. Hal itu menjadi
salah satu pertimbangan yang kemudian menuntunku untuk mengambil jurusan Teknik
Kimia saat kuliah. “Sumber devisa besar, pasti penerimaan juga besar,” pikirku
kala itu. Dan memang targetku setelah lulus adalah bekerja di salah satu perusahaan
minyak tersohor di negeri ini.
Namun,
seiring memasuki dunia perkuliahan aku semakin paham bahwa migas dan batubara
adalah sumber energi yang tak henti-hentinya kita eksploitasi selama ini untuk
memenuhi kegiatan kita dari mulai sekedar mengecas laptop hingga menyalakan
kipas angin ataupun AC dikala kita berniat “menidurkan” lelah. Ada ketakutan
kala itu, bagaimana bila suatu saat sumber energi ini akan habis, apa yang bisa
kita lakukan, sementara keduanya tidak dapat diperbarui, konon katanya harus
menunggu ratusan juta tahunlagi untuk bisa memproduksinya. Lalu, akankan selama
ratusan juta tahun itu dunia kita akan gelap gulita? Mungkin saat itulah dunia
dilanda “Krisis Energi” berkepanjangan. Horor banget kan…..??
Jawaban
dari hampir semua dosenku di bangku perkuliahan rasanya masih belum memuaskan
hasrat keingintauanku tentang habisnya energi fosil ini, “Cadangan kita masih
banyak, nggak mungkin akan habis,” begitu selalu kata mereka saat kutanyakan
tentang artikel ataupun sejenis tulisan ilmiah yang menyatakan waktu itu
(krisis energi.red) hampir tiba, ada yang bilang tinggal 10 tahun, 20 tahun, 30
tahun dengan berbagai asumsi masing-masing.
Dan baru-baru
ini aku baru mendapatkan pencerahan terkait hal itu. Saat kubaca sebuah
pemberitaan di media beberapa waktu lalu (Wamen ESDM: EBT Adalah Keharusan, Keekonomiannya Harus Diutamakan) , Wamen ESDM Arcandra Tahar menyatakan
bahwa dalam 12 tahun lagi persediaan minyak bumi yang dapat dieksploitasi di Indonesia
akan habis, jika kesulitan untuk mengeruk sisa 60% minyak bumi yang ada saat
ini masih belum terjawab teknologinya. Menurut Pak Wamen, cadangan terbukti
minyak Indonesia saat ini mencapai 3,6 miliar barel, jadi dengan tingkat
produksi 800 ribu per hari dan konstan, itu dalam waktu 12 tahun lagi akan
tidak ada lagi produksi. Nah, Pemerintah pun perlu berstrategi menutupi kekhawatiran
itu. Selagi belum ada orang ataupun peneliti yang sanggup menyentuh dan
menjawab tantangan tersebut. Hmmm…. Tugas besar diemban mereka yang ada di
bidang ini.
Selagi
teknologi untuk “memperpanjang usia” si minyak bumi ini belum ditemukan, maka
pengenalan dan pengembangan renewable
energy menjadi pilihan Pemerintah agar Negara ini bisa terhindar dari “Krisis
Energi” di masa mendatang. Okay….alasan ini sangat masuk akal menurutku. Dan dari
berbagai jenis renewable energy sejak lama aku tertarik untuk menceburkan diri
ke dalamnya, karena menurutku biofuel adalah masa depan Indonesia. Kalau
ditanya Why…..??? Entah, aku hanya meyakininya berdasar apa yang kupelajari selama
ini.
Yang
aku tahu biofuel adalah produk lama dari renewable
energy. Mari kita ulik hal itu sambil mengingat masa-masa “kecebur” dalam
ranah biofuel. Biofuel adalah bahasa
kekinian yang dipakai para penggiat energi khususnya berkenaan dengan bahan
bakar. Serapan kata Biofuel ini secara mudah dapat disederhanakan menjadi Bahan
Bakar Hayati (sederhana tapi kok makin panjang ya…..). Hayati disini homonim
dengan segala materi organik yang berasal dari organisme hidup, baik itu
tumbuh-tumbuhan dan hewan. Bahan bakar itu beragam macam wujudnya sesuai dengan
apa yang kita ingin kembangkan dan merupakan harapan setiap hajat manusia agar
dimasa yang akan datang tidak ada terror mengatasnamakan “Krisis Energi”. Oleh karenanya,
berbicara Biofuel maka kita akan mengaitkannya ke secercah harapan dan “perang”
dengan krisis energi.
Di era
turunnya “Kyoto protokol” penelitian “berideologi” biofuel menjadi primadona
dibidangnya. Pun begitu denganku yang waktu itu sedang mengenyam manisnya “skripsweet”
(red: skripsi anaknya S1) di tahun 2009-2010. Bermodalkan pemahaman proses
fermentasi sederhana dan pemisahan dua zat yang memiliki perbedaan titik didih,
simsalabim….. jadilah biofuel yang berbasis etil alcohol, kalau bahasa orang
IPAnya (hehehe) disebut Bioetanol.
Produk
turunan dari biofuel sebenarnya sudah mulai booming sejak sebelum era 1900, konon
kataya ada peniliti bernama Dr. Rudolf C.Karl Diesel menemui titik terang dalam
hipotesanya untuk menjalankan mesin motor dengan bantuan bahan bakar yang
berasal dari tumbuhan dikenal dengan BBN (Bahan Bakar Nabati). BBN tersebut
diujikan dari olahan minyak yang didapatkan langsung dari pemerasan biji pada
tumbuhan. Biofuel generasi pertama itu disebut minyak sayur. Turunan produk
lainnya yang mengikuti adalah Biodiesel, dan kemudian Bioalkohol.
Partner in crime jaman-jamannya bokek |
Naaah
Bioetanol ini merupakan salah satu jenis bioalkohol yang pengembangannya paling
massive, kalau pengen tahu prosesnya, kira-kira seperti ini:
Nggak
sesusah dan nggak seribet seperti yang dibayangkan, intinya hanya dua, proses
hidrolisis dan fermentasi, bahan kimia yang dibutuhkan juga dapat diperoleh
dengan mudah. Tadaaaaaa…… Namun, yang jadi PR Indonesia saat ini adalah
penyiapan agen fermentasi, yakni ragi atau enzim yang akan mengubah bahan-bahan
organik ini jadi etanol, yang saat ini masih tergolong mahal. Kalau di jepang,
enzim ini disubsidi oleh pemerintah sehingga harganya relatif murah.
Pengembangan
biofuel dan BBN sejauh ini berbasiskan pada energi yang ramah lingkungan karena
memanfaatkan bahan organik dan memiliki prospek yang baik ke depan. Yang
menjadi tantangan yang perlu dicarikan solusi segera adalah terkait pasokan
bahan baku, efisiensi, dan tren kebutuhan global. Yah….sekarang kalau harga
minyak dunia turun terus, sementara proses pembuatan bioetanol ini masih mahal,
tentunya pengusaha tidak akan melirik peluang bisnis di ranah ini. Jadi, semoga
saja arah angin segera berubah, energi terbarukan khususnya bioethanol dapat
bertahan untuk terus sustain, sebagai salah satu jawaban agar kita terhindar
dari “Krisis Energi”.
#15hariceritaenergi
#15hariceritaenergi
lucu dan informatif
BalasHapus